https://lunetwork.org/ YOGYAKARTA – Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terlihat bahwa mayoritas pelancong yang berkunjung ke Yogyakarta selama libur Idulfitri 2025 cenderung memilih akomodasi dengan harga terjangkau. Kepala Dinas Pariwisata DIY, Imam Pratanadi, menduga bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh penurunan daya beli wisatawan.
“Penginapan dengan tarif mulai dari Rp 150.000 per kamar ternyata sangat diminati dan menjadi pilihan utama,” ungkap Imam pada hari Jumat (18/4/2025). Menyikapi kecenderungan ini, ia mengimbau pemerintah kabupaten/kota untuk merumuskan regulasi khusus bagi rumah kos dan penginapan skala kecil. Langkah ini bertujuan untuk memaksimalkan kontribusi ekonomi sektor tersebut kepada daerah melalui mekanisme perpajakan.
“Ini berpotensi meningkatkan pendapatan daerah melalui sektor pajak di tingkat kabupaten/kota,” jelasnya. Di sisi lain, pada periode libur panjang Paskah di DIY, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mencatat adanya kenaikan tingkat hunian hotel di wilayah tersebut.
“Alhamdulillah, dua hari di akhir pekan ini memberikan dampak positif bagi kami,” kata Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono. Selama libur Paskah, tingkat okupansi hotel di DIY tercatat mencapai 55 persen. Ia optimis bahwa angka ini masih berpotensi untuk meningkat. “Saat libur Lebaran, tingkat hunian hotel berkisar antara 50 hingga 60 persen, padahal target yang ditetapkan adalah 80 persen,” tuturnya.
Deddy menduga bahwa merosotnya tingkat hunian hotel selama libur Lebaran salah satunya disebabkan oleh preferensi wisatawan untuk menginap di opsi akomodasi yang lebih ekonomis. “Kemungkinan besar, kos harian dan homestay justru ramai peminat pada periode tersebut. Tarif yang lebih bersahabat menjadi daya tarik karena tidak dikenakan pajak dan berbagai perizinan,” ujarnya.
Ancaman PHK bagi Staf Hotel Masih Mengintai
Deddy menjelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan okupansi hotel selama libur panjang akhir pekan ini, hal tersebut belum sepenuhnya menghilangkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan hotel. Menurutnya, keberlangsungan operasional hotel tidak dapat hanya bergantung pada momen libur panjang semata, melainkan juga membutuhkan sinergi dengan pemerintah atau pihak swasta.
“Belum ada bentuk kerja sama yang spesifik, bahkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY pun masih mencari solusi,” ungkapnya. Para pelaku usaha hotel dan restoran tetap berinisiatif melakukan promosi secara mandiri melalui agenda tabletop guyub sesarengan dalam waktu dekat. Efisiensi anggaran menjadi alasan utama mereka untuk tidak hanya mengandalkan dukungan dari pemerintah. “Sementara kami perlu bertahan, upaya mandiri menjadi prioritas,” pungkasnya.