Maraknya Praktik Wisata Ilegal oleh WNA, ASITA: Ancam Ekosistem Pariwisata

https://lunetwork.org/ JAKARTA – Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap meluasnya praktik wisata ilegal yang dilakukan oleh wisatawan mancanegara maupun penyedia akomodasi tanpa izin di Indonesia. Menurut organisasi tersebut, fenomena ini tidak hanya merugikan pelaku bisnis pariwisata yang sah, tetapi juga membahayakan keberlangsungan ekosistem pariwisata secara keseluruhan.

Dampak Negatif Akomodasi Ilegal

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat ASITA, Nunung Rusmiati, menyatakan bahwa akomodasi ilegal seringkali mengabaikan standar pelayanan dan keamanan, yang pada akhirnya dapat mencoreng reputasi pariwisata Indonesia di mata internasional.

“Ketika turis asing memilih menginap di vila pribadi atau akomodasi ilegal, mereka sering kali tidak tercatat dan tidak membayar pajak. Hal ini merugikan pelaku usaha resmi yang taat aturan, serta negara yang kehilangan potensi pendapatan dari pajak dan retribusi,” jelasnya dalam keterangan persnya, Minggu (18/5/2025).

Praktik Pemandu Wisata Ilegal

Tidak hanya mengenai akomodasi, Nunung juga mengungkapkan adanya praktik wisata ilegal lainnya, seperti wisatawan asing yang beroperasi sebagai pemandu wisata tanpa lisensi resmi.

Salah satu contohnya terjadi pada Februari 2025, ketika dua warga negara Polandia diamankan di Bandara Ngurah Rai, Bali. Keduanya diduga kuat berperan sebagai pemandu wisata bagi sesama turis asing, dengan menggunakan visa kunjungan, bukan visa kerja.

“Mereka bahkan menggunakan bahasa negara asal untuk menarik wisatawan dari negara yang sama. Ini jelas merugikan pemandu wisata lokal yang bersertifikasi dan telah membayar izin usaha,” tegasnya.

Ancaman Terhadap Pelaku Usaha Lokal

Nunung berpendapat bahwa jika praktik semacam ini terus dibiarkan tanpa tindakan, maka keberlanjutan bisnis pelaku usaha domestik, terutama UMKM dan anggota ASITA yang telah lama berkecimpung di industri pariwisata, akan terancam.

“Biaya operasional yang tinggi dan kurangnya pengawasan terhadap praktik ilegal membuat banyak agen perjalanan kesulitan untuk bertahan,” ungkapnya.

Dorongan Kolaborasi dan Solusi

Oleh karena itu, ASITA mendorong adanya kerja sama yang nyata antara pelaku usaha dan pemerintah untuk mewujudkan pariwisata yang sehat dan mendukung pelaku lokal. Menurut Nunung, kolaborasi ini harus mencakup empat poin utama:

  • Pengawasan yang ketat terhadap praktik ilegal.
  • Pemberdayaan pelaku lokal melalui promosi dan insentif.
  • Edukasi kepada wisatawan untuk memilih layanan yang berizin.
  • Keterlibatan asosiasi dalam proses penyusunan kebijakan.

Nunung juga mengusulkan pembentukan forum komunikasi rutin antara pelaku usaha (pengelola destinasi, agen perjalanan, hotel, toko oleh-oleh, pemandu wisata, dan lain-lain) dan pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata (Kemenpar), yang diadakan setiap enam bulan. Forum ini diharapkan menjadi wadah untuk melaporkan kondisi lapangan dan menjadi dasar pembentukan kebijakan yang lebih tepat sasaran.

“Pariwisata kita dapat berkembang dengan sehat dan inklusif jika ada kemauan politik, pengawasan yang tegas, dan keberpihakan terhadap pelaku usaha domestik,” katanya.

Perspektif Akademisi dan Dampak Ekonomi

Sementara itu, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, I Putu Anom, menyampaikan bahwa banyak wisatawan asing saat ini lebih memilih akomodasi ilegal seperti vila tanpa izin dan rumah kos, yang mengakibatkan penurunan tingkat hunian hotel-hotel resmi.

“Padahal jumlah wisatawan asing meningkat signifikan pascapandemi (2024: 13,9 juta, 2022: 5,8 juta). Namun, sektor perhotelan tidak mengalami pertumbuhan seiring dengan peningkatan tersebut karena tergeser oleh penginapan ilegal,” jelas Anom.

Ia juga menyoroti tren wisatawan asing yang menyewa properti atas nama warga lokal untuk kemudian disewakan kembali kepada turis lain dari negara asal mereka, serta praktik Online Travel Agent (OTA) asing yang dinilai merugikan pelaku lokal melalui praktik predatory pricing dan pengalihan beban pajak.

Penurunan tingkat hunian hotel menyebabkan banyak hotel mengurangi bonus karyawan, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata juga mengalami penurunan, yang berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selama ini mengandalkan sektor tersebut.

“Pengawasan perlu diperketat. Pemerintah daerah seperti Pemerintah Kabupaten Badung kini sudah mulai bertindak langsung. Karena pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata sangat besar, mereka tidak bisa tinggal diam. Jika PAD turun, jelas APBD ikut terpengaruh,” sebutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *